Rubrik BERANDA, Media Indonesia, Minggu, 7 Mei 2006
Tidak ada orangtua yang tidak mau anaknya berprestasi. Karena prestasi itu menjadi sebuah kebanggaan. Sayangnya, tidak semua anak memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama. Terlebih bila kita memiliki anak-anak dengan kebutuhan khusus yang memiliki kesulitan pada satu atau beberapa bidang seperti membaca (disleksia), menulis (disgrafia), berhitung (diskalkusia), berbahasa (disfasia), berkonsentrasi, dan hiperaktif. Merekapun lantas mengalami kesulitan belajar.
Atie W. Soekandar, praktisi pendidikan sekaligus pendiri Yayasan Pantara, mengatakan biasanya orangtua tidak mengetahui kalau anak mereka mengalami kelainan seperti ini. Bahkan mereka kerap menyalahkan pihak lain, guru sekolah misalnya.
Kelainan ini tertutupi karena anak terlihat nakal, bodoh, atau kalau di sekolah orangtua menyalahkan guru yang tidak bisa mengajar anaknya. Padahal, di tempat lain anak terlihat cerdas,” jelas Atie dalam diskusi bertajuk “Mengatasi Kesulitan Belajar pada Anak dengan Kebutuhan Khusus“ di Jakarta, Sabtu (29/4).
Menurut Atie, anak seperti ini tidak berbeda dengan teman sebaya mereka. Anak dengan kebutuhan khusus tidak memiliki gangguan otot motorik maupun kelainan mental. Jika kualitas intelektual mereka diuji, hasilnya tidak berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya.
Kelainan seperti ini bisa terjadi akibat orangtua yang kurang menjaga diri saat mengandung. Misalnya banyak merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol. Penyebab lainnya ialah kesulitan saat proses persalinan seperti terjepit tali pusar. Akibatnya, anak mengalami masalah dalam pertumbuhan otak dan terjadilah disfungsi minimal otak.
Deteksi Dini
Sedangkan Indri Savitri, Kepala Divisi Klinik dan Layanan Masyarakat di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI) mengatakan, orangtua maupun guru di sekolah bisa mengenali gejala anak dengan kebutuhan khusus sejak dini, terutama ketika usia pra-sekolah.
Perhatikan saja bila dia mudah kesasar, sulit membedakan bentuk, sulit membedakan mana yang inti mana yang bukan,“ ujar Indri kepada Media Indonesia di Jakarta, Selasa (2/5).
Jika hal ini tidak diantisipasi sejak dini, anak akan mengalami dampak psikis maupun akademis. Kesulitan dalam belajar adalah salah satu bentuk dampak akademis yang dialami anak dengan kebutuhan khusus.
Bagi disleksia, misalnya, dia akan kesulitan membaca dengan lancar. Sehingga kemampuan dalam belajar pun cenderung rendah. Sedangkan dampak psikis membuat anak merasa tidak percaya diri, karena ejekan teman-teman di sekolah.
Selain itu, ekspektasi orangtua yang menginginkan anaknya berprestasi bisa membuat harga diri anak melemah ketika harapan itu tidak terpenuhi. Kondisi ini membuat anak menjadi tidak optimal dalam kehidupannya.
Menerima apa adanya sang anak sesungguhnya merupakan kata kuncinya. Sebab, setiap anak dilahirkan dengan keunikan berbeda. „Jika anak mengalami kesulitan dalam belajar, lihat dia secara menyeluruh. Pasti ada talent di bidang lain seperti seni, musik, atau lainnya. Jika orangtua membantu mengenbangkan kemampuan diri anak, ini bisa meningkatkan harga dirinya,” jelas Indri.
Itu sebabnya Atie menegaskan perlunya kerjasama antara orangtua dan guru di sekolah guna mengetahui setiap perkembangan diri anak. Anak dengan kebutuhan khusus memerlukan sistem pembelajaran yang konkrit, semisal belajar berhitung saat berbelanja di supermarket. Meski kesulitan seperti ini tidak akan hilang saat dewasa, ia masih memiliki potensi lain yang bisa dikembangkan sehingga tumbuh menjadi anak yang mandiri.- Hiko Erlina/M-3