Ada Maria Girgis (Carissa Putri), tetangga satu flat yang beragama Kristen Koptik tapi mengagumi Islam dan senang membaca Al Quran, bahkan hafal surat Maryam. Tak hanya Islam, Maria juga mengagumi Fahri yang kemudian berubah menjadi cinta. Sayang rasa cinta itu hanya tertumpah di buku hariannya. Ada pula rekan senegara Fahri, Nurul (Melanie Putria) anak tunggal seorang kyai Jawa Timur yang juga menuntut ilmu di Al Azhar. Nurul yang pintar dan cantik, juga ketua Wihdah, sebenarnya mencintai Fahri, namun tak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkan atau memberi sinyal cintanya. Demikian pula dengan Fahri yang menaruh hati pada Nurul tapi merasa minder karena dirinya hanya anak petani miskin. Kemudian ada Noura (Zaskia Adya Mecca), tetangga depan flat Fahri, perempuan cantik yang selalu disiksa oleh ayahnya, Bahadur. Fahri yang berempati dengan Noura akhirnya menolong Noura lepas dari siksaan ayahnya dengan bantuan Maria dan Nurul. Noura yang awalnya digambarkan sebagai perempuan baik-baik, akhirnya menjadi tokoh antagonis di film ini, setelah Noura menuduh Fahri memperkosanya. Tuduhan itu membawa Fahri mengalami ‘petualangan’ dengan aparat penegak hukum di Mesir, termasuk penjaranya. Satu lagi, gadis yang paling istimewa. Fahri mengenalnya di metro. Saat itu Fahri membela Islam atas tuduhan tuduhan kolot dan kaku. Aisha (Rianti Cartwright), gadis Turki-Jerman berdarah Palestina, pun jatuh cinta pada Fahri. Dan Fahri juga tidak bisa membohongi hatinya. Pada siapa Fahri akan melabuhkan hatinya? Dapatkah dia menjalani segala rasa cinta dan problema yang mengiringinya dengan tetap berpegang teguh pada Islam yang diyakininya?
Sejak awal rencana pembuatan film ini para penggemar fanatik novel AAC tidak yakin Hanung dapat membuat film ini sebagus novelnya. Bahkan Kang Abik tak berharap banyak atas hasil akhir film adaptasi dari novelnya, karena imajinasi tulisan jauh lebih luas daripada imajinasi visual. Banyak juga yang beranggapan Zaskia tidak cocok berperan sebagai Noura, tapi lebih sesuai sebagai Nurul. Yang namanya film adaptasi pasti tak luput dari pembandingan dengan novel yang diadaptasi. Bagi penggemar Fahri siap-siap kecewa, karena Fahri di film tak sesempurna Fahri di novel. Fahri di film tidak menguasai beberapa keahlian seperti halnya di novel. Karena itulah, Fahri di film terlihat jauh lebih manusiawi dibandingkan novelnya. Sayangnya, banyak detail di novel yang dilewatkan oleh Hanung, sehingga terasa ada yang kurang saat menontonnya. Hanung juga lebih banyak memberi porsi pada perilaku ‘poligami’ Fahri. Padahal novel Kang Abik berkisah lebih (jauh lebih dalam) dari hanya persoalan ‘poligami’. Satu lagi yang paling mengganjal adalah kemampuan orang-orang Mesir dalam memahami dan berbicara bahasa Indonesia. Film yang bersetting di Mesir ini lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Saat menontonnya tak ayal ingatan jatuh ke film James Bond tahun 1970-an yang mana orang-orang Uni Soviet sangat fasih berbahasa Inggris. Meski demikian, sekali lagi, Hanung menunjukkan kualitas tangan dinginnya dalam membesut film untuk kalangan anak muda. Meski ada beberapa yang berbeda dengan novelnya, namun penceritaan Hanung sangat cimaik, khas anak muda, serta mudah diikuti bagi yang belum pernah baca novelnya. Beberapa penambahan, seperti adegan pemukulan Fahri di Metro, kisah tabrak lari Maria, justru menambah greget dan menambal ‘lubang’ dari novel Kang Abik. Secara umum film chicklit ‘akhwat’ ini mampu memberi pandangan berbeda tentang arti cinta yang dibalut dengan keimanan.