Melamin, Piring Cantik yang Menyimpan Racun

Kompas, 10 Juli 2005

Di banyak toko yang menjual perabot rumah tangga, peralatan makan dan minum yang disebut melamin relatif mudah ditemukan.

Kalau sekitar tahun 1970-1980-an melamin masih terbatas warna maupun coraknya, maka kini desain melamin bisa bersaing dengan barang pecah belah lainnya.

Produk pecah belah melamin begitu banyaknya sehingga barang ini tak hanya bisa dibeli di toko tertentu, tetapi juga di pasar tradisional sampai di pedagang kaki lima.

Cikal bakal melamin dimulai tahun 1907 ketika ilmuwan kimia asal Belgia, Leo Hendrik Baekeland, berhasil menemukan plastik sintesis pertama yang disebut bakelite. Penemuan itu merupakan salah satu peristiwa bersejarah keberhasilan teknologi kimia awal abad ke-20.

Pada awalnya bakelite banyak digunakan sebagai bahan dasar pembuatan telepon generasi pertama. Namun, pada perkembangannya kemudian, hasil penemuan Baekeland dikembangkan dan dimanfaatkan pula dalam industri peralatan rumah tangga. Salah satunya adalah sebagai bahan dasar peralatan makan, seperti sendok, garpu, piring, gelas, cangkir, mangkuk, sendok sup, dan tempayan, seperti yang dihasilkan dari melamin.

Peralatan makan yang terbuat dari melamin di satu sisi menawarkan banyak kelebihan. Selain desain warna yang beragam dan menarik, fungsinya juga lebih unggul dibanding peralatan makan lain yang terbuat dari keramik, logam, atau kaca. Melamin lebih lebih ringan, kuat, dan tak mudah pecah. Harga peralatan melamin pun relatif lebih murah dibanding yang terbuat dari keramik misalnya.

Potensi formalin

Dengan segala kelebihan melamin, tak heran kalau sebagian orang tidak menyadari bahwa melamin menyimpan potensi membahayakan bagi kesehatan manusia.
Menurut pengajar pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung, Bambang Ariwahjoedi PhD, MSc, melamin berpotensi menghasilkan monomer beracun yang disebut formaldehid (formalin).

Selain berfungsi sebagai bahan pengawet, formaldehid juga digunakan untuk bahan baku melamin. Menurut Ariwahjoedi, melamin merupakan suatu polimer, yaitu hasil persenyawaan kimia (polimerisasi) antara monomer formaldehid dan fenol. Apabila kedua monomer itu bergabung, maka sifat toxic dari formaldehid akan hilang karena telah terlebur menjadi satu senyawa, yakni melamin.

Berdasarkan kerja sama penelitian antara Universitas Indonesia dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), diketahui kandungan formaldehid dalam perkakas melamin mencapai 4,76–9,22 miligram per liter.

”Permasalahannya, dalam polimerisasi yang kurang sempurna dapat terjadi residu, yaitu sisa monomer formaldehid atau fenol yang tidak bersenyawa sehingga terjebak di dalam materi melamin. Sisa monomer formaldehid inilah yang berbahaya bagi kesehatan apabila masuk dalam tubuh manusia,” ujar Ariwahjoedi.

Dalam sistem produksi melamin yang tidak terkontrol, bahan formaldehid yang digunakan cenderung tidak sebanding dengan jumlah fenol. Maka, kerap terjadi residu.

Ini bukan berarti proses produksi yang sudah menerapkan well controlled dan tidak menghasilkan residu terbebas dari potensi mengeluarkan racun. Menurut Ariwahjoedi, formaldehid di dalam senyawa melamin dapat muncul kembali karena adanya peristiwa yang dinamakan depolimerisasi (degradasi). Dalam peristiwa itu, partikel-partikel formaldehid kembali muncul sebagai monomer, dan otomatis menghasilkan racun.

Ariwahjoedi menjelaskan, senyawa melamin sangat rentan terhadap panas dan sinar ultraviolet. Keduanya sangat berpotensi memicu terjadinya depolimerisasi. Selain itu, gesekan-gesekan dan abrasi terhadap permukaan melamin juga berpotensi mengakibatkan lepasnya partikel formaldehid.

Ariwahjoedi menambahkan, formaldehid sangat mudah masuk ke tubuh manusia, terutama secara oral (mulut). Formaldehid juga dapat masuk melalui saluran pernapasan dan cairan tubuh.

Monomer formaldehid yang masuk ke tubuh manusia berpotensi membahayakan kesehatan. ”Formalin kan berfungsi untuk membunuh bakteri. Kalau bakteri saja tidak bisa hidup, berarti tinggal selangkah lagi meracuni makhluk yang lain,” ungkapnya berilustrasi.

Formaldehid yang masuk ke dalam tubuh dapat mengganggu fungsi sel, bahkan dapat pula mengakibatkan kematian sel.

Dalam jangka pendek, hal ini bisa mengakibatkan gejala berupa muntah, diare, dan kencing bercampur darah. Sementara untuk jangka panjang, akumulasi formaldehid yang berlebih dapat mengakibatkan iritasi lambung, gangguan fungsi otak dan sumsum tulang belakang. Bahkan, fatalnya dapat mengakibatkan kanker (karsinogenik). (d10)

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *